Percakapan Dua Pemuda
Jarum jam menunjuk angka 18:45. Aku seharian dirumah, membaca dan pagi tadi menulis—porsi membaca lebih bnyak memakan waktu berjam-jam, menulis hanya waktu senggang saja tak lewat dari satu jam. Magrib, sholat berjamaah telah selesai kutunai, perut meringik mintak diisis.
Makan, suatu hal yang membingungkan,
"mau makan apa," tanyaku pada seorang kawan. Sama bingung juga. Hampir
setiap masakan, setiap warung sekitar kampus telah aku cicipi semua, tak ada
yang baru. Muak rasanya.
Tapi perut yang terus-terusan meminta
harus segera diwujudkan, jangan sampai ia marah dan menyusahkan: membuat tak
bisa bergerak dirumah sakit, maag. Mau tak mau, bosan-bosanpun tetap perut
harus diisi.
Ada banyak pilihan, pecel lele, sate,
nasi goreng, dan angkringan, tapi semunya telah muak rasanya. Belum lagi ujian
terberat harus menyesuaikan sisa-sisa receh yang ada. Kadang, dan beruntung
juga kadang-kadang aku punya simpanan logam dengan motif menabung beda tipis
malas membelikan. Syukur-syukur menabung.
Tapi malam itu 'nasi goreng' ada
dalam naluri, perut serasa ingin itu walau kantong tak begitu sepakat. Alhasil
aku harus menyatukan kedua-duanya, antar dompet dan perut agar tak bertengkar.
"Aku mau makan nasgor.
titik," kata perut garang.
"Kamu itu mikir, kalau susah, ia,
makan angkringan saja," dompet memperingatkan.
"Aku pengen nasgor, tidak mau
angkringan."
Memang segalanya telah bosan, rasanya
masukpun jika tak mamaksa sulit. Tapi malam itu perut benar-benar hanya ingin
makan nasgor. Aku harus membantu merumusakan pertengkaran ini, perut tidak
boleh ngambek dan buatku sakit, dompet harus memenuhi keingin perut, sekali ini
saja.
"Dompet, kamu ngalah sama perut,
dia pengen yang beda malam ini," ucapku.
"Besok susah kalau boros-boros.
Tapi, ia sudah kalau begitu, aku ikut," dompet akhirnya menyetujui
keinginan perut.
"Mang, nasi goreng ia,
pedes." "Makan sini?" tanya mamang. "Ia, sini." Dua
orang telah duduk di kursi yang hanya satu meja panjang itu, aku disebelahnya
sendirian. Ada kerupuk dan acar untuk pelengkap nasgor. sendok, garpu, dan tisu
juga ada.
Kedua orang yang sudah duluan sibuk
benar. Duduk satu meja berhadapan. Obrolannya hangat, rekan kerja sepertinya.
Percakapan mereka seputar aktivitas kerja mereka dan pengalaman gagal diterima:
"aku dulu iya daftar kerja, minimal D3. Aku batalkan bro, orang hanya
tamat SMA." Lawan bicaranya hanya tersenyum.
Satu pemuda mengenakan baju biru,
satu lagi baju merah.
“Sekarang aku benar-benar betah
dengan kerjaku sekarang,” tapi ia terlihat mengeluh, “cuman ini yang menerima”
baju biru menjelaskan.
“Kamu kerja apa bro?” tanya baju
merah.
“Biasa, buruh bangunan. Berat kerjanya
bro, gaji kecil pula: untung-untung uang makan” dia tidak terlalu bersemangat
membahas itu, sembari melempar “kalau kamu sedang kerja apa?”
“Aku ojek online. Orderan payah
sekarang. Kalau ada kerja lain aku pindah bro. Capek aku.”
Obrolan mereka berlanjut. "Tidak
pedes, pedes, pedes," mas-mas nasi goreng mengantar dan meletakkan didepan
kami. Piring hijau, nasi goreng warna sedikit gelap, lengkap dengan sayur,
suwiran daging ayam. Panas masih berasap. Kuberi acar tak lupa kerupuk. Mulai
kusantap.
Dua orang masih asik dengan obrolan.
Mendinginkan nasi atau masih nyaman bercakap-cakap? Tapi yang satu hanya diam
tak mau bicara lagi, tampaknya dia sudah tak tahan melahap. Asap ngebul nasgor.
Mulai juga dimainkannya sendok dan garpu.
Rasa inginku terbayar tuntas, makan
nasgor. Perut lega rasanya. Lapar telah kabur begitu cepat. Kututup dengan cuci
mulut, air putih. Beranjak dan kubayar, "brapa mas? Oke". Aku pergi
meninggalkan..., kedua orang tadi masih asik, sekarang dengan nasgor masing-masing.
Semoga dompet tak ngambek, besok perut diuji dengan yang lebih...
04 Maret 2021


Komentar
Posting Komentar