Ramah dan Damaipun Bisa Musnah Jika Tak Dijaga (Siapa yang Anarkis)
Disuatu
negeri yang aku sendiri tidak paham dimana letaknya baik secara geografis atau
pun imajinasi tak bisa menerawangnya, entah begitu mistisnya negeri ini
sehingga orang-orang yang berada sini dinegeri yang gelap ini tak pernah keluar
rumah kecuali hanya untuk membeli bahan pangan untuk kebutuhan jasmani.
Kehidupan seperti ini sudah lama melanda dinegeri ini bahkan sudah berpuluh
abad yang lalu, berita ini hanya penapsiran peramal desa yang rumahnya berada
dipinggir sungai sana yang orangnya sendiri tidak diketahui pasti keberadaannya
entah dirumah atau rumah hanya sekedar rumah. Tak kunjung waktu tentang
perjalanan desa ini yang ternyata dulunya bekas penjajahan negeri dongeng
sehingga selalu sejuk untuk didengarkan ketika waktu tidur mulai datang.
Awal
kisa ini dimulai ketika aku melihat seorang yang duduk disebatang potongan kayu
pinggir sungai, kulihat dia sedang merenung sampil memperhatikan aliran sungai
yang jernih sehingga ikan-ikan yang adapun kelihatan begitu indah melambaikan
sirip dan ekor warnanya. Aku penasaran dengan orang ini sehingga membuatku
memberanikan diri untuk menghampirinya untuk setidaknya mencari informasi
tentang negeri ini karena dari seminggu yang lalu tak ada satupun orang yang
bisa aku mintai keterangan. Hai… ku sapa dia, dia hanya diam dan memalingkan
muka menyembunyikan kesedihannya sembari menghilangkan air matanya dengan
lengan tangan kirinya,
Aku :
kamu sedang apa? ucap awal ku.
Dia :
aku sedang menikmati pemandangan dan hangatnya senja
Aku
berhenti bertanya tentang urusannya karena bukan kewajibanku untuk paham yang
dia rasakan, kesedihan dan kesenangannya biarlah dia nikmati sendiri. Sudah berapa
lama anda berada dinegeri ini? aku sejak lahir dan membuka mata untuk pertama
kalinya sudah dinegeri ini, kalo begitu kamu pasti setidaknya tahu banyak
tentang negeri ini. Diapun mulai menampakkan wajah sedihnya kembali namun
sedikit disembunyikan seakan-akan begitu dasyatnya apa yang telah terjadi
dinegeri ini, aku memikirkan sesuatu ah taklah layak menyimpukan tanpa tahu
kebenarannya.
Setelah
diam beberapa menit di mulai menjawab, sejak kecil aku begitu senang hidup
dinegeri ini, hutan-hutan rimbuan diapit perbukitan terbentang luas, penduduknya
ramah dan damai, setiap ada masalah pasti dengan mudah diselesaikan karena
budaya gotong royong yang masih sangat terjaga. Lalu kenapa sekarang kebalikan,
saya mengonfirmasi. Inilah yang membuat saya sedih yang tak terbayangkan dinegeri
yang kaya raya seketika jadi begini, ini semua terjadi setelah datang
kapitalis-kapitalis yang semenah-menah merampas tanah rakyat dengan uang
kertasnya yang tak sebanding itu, mereka gusur hutan kami kemudian dikeruk
sampai beratas-ratus meter dalamnya hanya untuk mengambil baru-bara, minya, dan
emasnya.
Inilah
awal dari kekacauan, yang dulu hijau menjadi gersang, yang dulu ramah dan damai
menjadi menakutkan dan penuh perselisihan, yang dulu gotong royong menjadi
individualis. Sihir kapitalis nampak berhasil diposisi ini mempora-porandakan
rakyat hanya untuk menjari apa yang menurut mereka bernilai namun tak
menghiaraukan damapak buruk sekelilingnya, masyarakatpun tidaklah salah dalam
hal ini karena kehidupan damai selama ini seolah olah luntur oleh rayuan bujukan
harta yang tidak seberapa itu.
Oh
jadi begitu ceritanya apa yang aku lihat sekarang tentang negeri ini, tapi
bukannya dengan adanya perusahaan seperti ini masyarakat mendapat uang banyak
sehingga pasti akan damai karena tercukupi secara ekonomi?
Mungkin
iya untuk sedikit sekali orang yang punya jabatan, namun bagi masyarakat yang
lain yang hanya memanfaatkan lahan sekitar rumah untuk mencukupi hidup
sehari-hari, mau kemana lagi mereka makan jika menanam sayur-sayuran tak lagi
sesubur dahulu bahkan hidup pun susuh. Kini negeri kami yang dulu indah ini
tinggal menunggu kehancuran. Hanya ada satu cara yang ampuh untuk ini yaitu
menghentikan segala bentuk pemanfaatan alam yang tidak mempertimbangkan
kelestarian lingkungan itu dan memulai melestarikan lingkungan seperti dulu
kembali, tak apa-apa walau butuh waktu cukup lama.
Kesedihan
orang yang saya temui duduk dipinggir sungai ini ternya bukan karena diputus
cinta, yang dimana menjadi bara kesedihan para anak muda zaman sekarang. Awalnya
saya sempat curiga kesitu namun setelah saya konfimasi, ternyata kesedihan yang
diekspresikan oleh pemuda ini adalah kegelisahan terhadap lingkungan dan dampak
buruk pada perekonomian masyarakat tempat dia tinggal. Apa yang terjadi saat
ini adalah bentuk dari ketidak pahaman penguasa, tidak mungkin para kapital bisa
bekerja tanpa mendekati penguasa. Bukan curiga kepada penguasa, tapi kami pikir
sebagai rakyat wajib juga untuk curiga, karena apa yang dia janjikan kepada
kami adalah tentang kesejahteraan yang seluas-luasnya kepada masyrakat.
Janji inilah
yang kemudian kami tagih, berbagai macam bentuk ekspresi protes yang kami
lakukan untuk itu. Kami demo karena air kami tercemar, udara tidak sehat,
implasi meningkat, dan mata pencaharian kami menjadi mati, lalu penguasa bilang
jangan anarkis begitu kita akan selesai bersama lagi pula ini bukan salh kami. Itukan
janji bapak, kami hanya menagih apa yang pernah bapak bilang untuk meyakinkan
kami memilih anda, kok anda bilang kami anarkis.
Menagih
janji dibilang anarkis, logikanya dimana? Kami juga berhak mengatakan yang
anarkis adalah anda sebagai penguasa yang pernah menebar janji kepada masyarakat namun tidak
pernah ditepati.
Kami cerdas
anda cerdas, jangan membodohi masyarakat.


Komentar
Posting Komentar