Baduy; Teman Canda Jadi Pejabat Lupa Diri
Kencang angin menerjang pondok-pondok pedagang tepi pantai, luluh lanta tak tersisa. Bambu-bambu tiang berhamburan. Atap-atap seng berserak tak karuan. Tembok kayu berkeping terpisah tak karuan.
Angin kencang datang setiap saat sore hari. Kelapa-kelapa tersibak hampir mau tumbang. Pohon-pohon pematah angin seperti tak kuat, seperti mau roboh. Pasir-pasir berhambur seperti badai. Gelombang tinggi besar.
Senja, angin-angin mulai reda. Para anak muda, para keluarga dan pasangan suami istri muda. Anak-anak bermain dengan asik, lari sana lari sini main kejar-kejaran. Semua bercengkrama dengan kadar kegembiraan masing-masing ditepi pantai senja.
Ada yang menarik, tak sempat aku memalingkan muka mengamati. Duduk di kursi kayu dengan payung merah bapak-bapak menikmati kelapa muda. “Tak biasa, para pejabat negara nampaknya?”. Celana gunung pendek, kemeja pantai motip pohon kelapa, dan ada juga lengkap dengan topi koboy coklat tua.
Senja, berwarna orange tua dengan awan-wan tipis tepiannya. Kelapa yang mengayun-ngayun. Ombak yang mulai tenang. Nelayan yang mengarah jalan pulang. Bapak pemancing tepian. Semuanya terlihat indah dalam kejauhan.
Terbayang aku akan semua gurauan. Lelucon yang pernah disodorkan teman semasa sekolah. Terbahak-bahak tawa dibuatnya, bahkan ada yang sampai terkangkang-kangkang. Kini teman karib itu entah dimana, mungkin luar kota, luar negeri atau bahkan jadi mahluk luar angkasa. Atau bahkan salah satu dari bapak-bapak pejabat yang aku lihat tadi kalau tak salah.
Sunggu beruntung nasibnya bila benar adanya. Dulu dia pernah bercita-cita menjadi pejabat dijakarta. Saat itu aku benci dengan pejabat yang sering kulihat adu mulut tanpa dasar jual rakyat dimedia masa. Entah, apakah begitu pejabat publik tak punya moral? Kuharap Baduy teman yang sering membuatku tertawa semasa dulu tak menjadi pejabat seperti yang kulihat.
Senja mulai memudar, gelap. Terlihat bayang-bayang orange menghitam, tetap terlihat indah. Semua bergerombol pulang. Suami istri muda yang asik kejaran-kejaran sudah tak tampak. Bapak-bapak pejabat sudah hilang dalam penglihatan.
Pantai senja yang ramai, sepi ditinggal. Gelap malam adzan berkumandang. Begegas aku pulang.
Kutunggangi motor vespa tua kumal peninggalan bapakku semasa dulu. Cat hitam lis orange, terispirasi dari senja yang hampir ditelan gelap. Teng…teng…teng…vespaku. Suara adzan terdengar lantang, sambil melihat-lihat masjid terdekat.
Sampai dirumah sekitar dua puluh menit lamanya. Istriku yang cantiknya tak pernah lekang menyiapkan kopi hitam dikepulangan. Lima tahun sudah usia pernikahan kami. Dua anakku, yang besar laki-laki umur 4 tahun 2 bulan dan yang kecil perempuan manis seperti ibunya umur 2 tahun.
Dua minggu sudah umurku diberhentikan dari pekerjaan, disalah satu perusahan tekstil milik perusahan asing. Semenjak itu aku sempatkan setiap sore merenung dipantai dengan senja. Tabungan mulai menipis, “makan apa anak istriku besok”. Keluhan itu terngiang-ngiang dikepala saban hari. Tak terlihat sedih raut muka istriku, senyumnya yang membautku tenang. Namun kuat perasaanku dia juga merasa tersiksa.
Duduk aku diruang tamu. Menghidupkan telivisi, apdate berita terkini. PHK akibat covid-19 ternyata bukan hanya diperusahanku, yang lain berbagai kota bernasip sama, tak punya penghasilan lagi. Mungkin besok kami sekeluarga dan yang terkena PHK mati dalam isolasi mandiri dirumah karena corona.
Kualihkan cahanel berita lain. Terkejut aku, Baduy…Baduy…tak salah mataku, itu Baduy ketua Dewan Wakil Rakyat Republik Indonesia, setelah kubaca tulisan kecil dibawah gambarnya yang sedang berbicara. Senang aku melihat kawanku sesukses itu.
Pagi-pagi sekali kutelpon Baduy ketua Dewan Wakil Rakyat itu, kalau siang tak mungkin sempat teLponku diangkat.
“Assalamualaikum Baduy”
“Walaikumsalam”, Baduy menjawab.
“Ini aku Muhid teman sekolahmu dulu”
“Muhid mana iya? jawab Baduy pura-pura tak tahu.
“Teman satu kampungmu”, jawabku meyakinkan.
“Halo…halo…halo…” putus tak bersebab terlponku letakan.
Mungkin baduy sudah lupa aku, karyawan perusahan yang kena PHK ini. Padahal aku hanya ingin menanyakan kabar serta tentang kebijakan pemerintah tentang nasib kami, tentu dia paham sebagai pimpinan Dewan Wakil Rakyat.
Termangu aku duduk diteras rumah. “Tak habis pikir, tak salah tuduhanku. Pejabat publik membuat buta. Buta teman, buta orang kampung, dan buta bahwa pernah hidup menderita. Disini, desa kelahiran.”
15 April 2020
Cerpen
x


Komentar
Posting Komentar