Warung Soto

 


Kutumpah sambal dimangkok pada nasi, dan gorengan juga begitu, kutumpah pula kecap dari botol sedikit menekan badan botoldengan jari. Kuaduk pada nasi tapi tidak untuk gorengan. Muka ibu agak garang, beda dengan biasanya, aku jadi sungkan dan sedikit tidak nyaman.

***

Setiap pagi—walau tidak tiap hari—aku sarapan diwarung soto itu, yang ada juga nasi kucing dan gorengan. Ada pula sate ayam dan telur puyuh titipan orang. Gorengan bakwan, tempe, dan tahu tepatnya, tapi adapula gorengan ceker ayam berbalut gandum.

Disudut lain ada kerupuk, didalam kaleng hijau, orange. Tidak bisa dipungkiri, setiap warung makan harus ada kerupuk, semacam sudah menjadi pasangan serasi bagi lidah-lidah orang Indonesia. Saya juga suka. Berbagai macam kopi saset ditepi lain, aku biasanya minta dibuatkan setelah makan, kopi hitam, hanya itu paporitku.

"Ra' sa turah-turah, lombok larang. Seneni entar," ucap ibu pedagang yang sedikit marah tapi tidak marah-marah amat.

Setidaknya begini arti ucapan ibu dalam bahasa Jawa itu, "tidak usah banyak-banyak, cabai lagi mahal. Aku marahi entar".

Untung aku sedikit mengerti bahasa Jawa, kalau tidak: bodoh amat, gak peduli aku. Tapi tetap, aku juga tidak begitu memusingkan masalah teguran itu, yang aku masih mengganjal tentang naiknya harga cabai.

"Seneni."

Aku ingin ketawa liat ibu soto bilang begitu, lantas dia marah walau hanya sedikit, tapi mau minta marahin, gimana sih, udah marah mau nawar minta. Haha, ngakak.

***

Harga cabai memang begitu fluktuatif, naik turunnya begitu tinggi dan tak tentu. Antara hari ini dan besok kadang jauh berbeda—kadang naik, kadang turun. Minimnya produk dan permintaan banyak membuat harga cabai jauh melambung, sebaliknya, produk banjir permintaan sedikit harga produk merosok sedalam-dalamnya bahkan, sampai-sampai petani rela buang dikali, comberan atau membiarkannya busuk dipohon.

Ada banyak faktor yang menjadi sebab. Faktor-faktor itu diantaranya: iklim yang tidak menentu, terserang hama/penyakit, dan harga (tata niaga) yang tidak tentu. Masalah yang sulit dikendalikan ialah masalah hama/penyakit. Berbagai cara dilakukan untuk menangani—menggunakn festisida kimia biasanya paling sering. Tapi itu masalah teknis budidaya, sedang yang keduanya: iklim dan harga adalah masalah diluar budidaya, masalah manajemen. Meski iklim masuk juga dalam masalah budidaya tapi erat sekali dengan tata niaga.

Pendekatan petani lebih pada masalah teknis budidaya, padahal yang berbuntut panjang ialah masalah non teknis budidaya. Petani di beri pelatihan cara mengatasi hama/penyakit, walau tak bisa dipungkiri kritik tentang penyulusan jauh dari harapan, petani lebih sering berlajar sendiri lebih tepatnya. Penanganan hama/penyakit dengan cara kimiawi cukup memberikan dampak pada hasil dan selamat dari rugi oleh hama dan penyakit—kita tidak sedang membicarakan dampak bahan kimianya pada tubuh, itu soal lain.

Masalah lain, diatas keberhasilan penanganan teknis budidaya itu: iklim dan tata niaga, keduanya saling berkaitan, masalah teknis budidaya juga, tapi kedua ini setidaknya lebih erat. Penentuan musim tanam adalah cara mengatasi pengaruh iklim, contonya begini: jika musim hujan cabai rentan busuk maka diusahakan supaya tidak terjadi budidaya pada saat musim hujan, dan seterusnya. Ini penting. Pengendalian ini juga akan membantu juga teknis budidaya sehingga lebih terkontrol.

Sekarang "tata niaga". Iklim dan teknis telah selesai, tata niag gimana? Tata niaga berkaitan dengan manajemen pemasaran produk supaya memiliki pasar yang bersedia menerima—istilah saya membuang pada tempatnya. Kenapa ini sangat erat dengan pengendalian iklim, karena salah satu faktor yang menyebabkan produksi sedikit dan banyak juga tentang iklim. Ketika iklim berhasil diatasi, dengan sedikit majemen tata niaga yang baik, maka selamatlah petani dan begitu pula konsumen.

Menjadi pentingnya manajemen, mulai dari teknis budidaya, pengendalian iklim, dan tata niaga akan sangat mempengaruhi ketersediaan produk dan harga yang tetap stabil. Harus tersistem jika ingin dicapai. Tidak bisa ngatur satu hal saja, harus semuanya.

Cabai yang melonjak tajam tak bolehlah ada lagi. Berangus. Supaya para bapak tenang, dan ibu rumah tangga tidak pusing-pusing mikir ngurangin ini, ngurangin itu. Urusan dapur, dunia per-cabai-an kelar sudah. Buang jauh-jauh.

Banyak hal yang lebih layak kita utamakan. Tapi jangan salah juga, itu masalah perut dan selera. Tak dipungkiri, cabai belum ada penggantinya untuk lidah-lidah orang Indonesia. Dan kita tidak usah berusaha cari pengganti untuk mengatasi. Selasaikan masalah: selesai.

Semoga cabai lekas stabil, kantong bapak aman, dan ibu rumah tangga sentosa.

***

Keseringku makan diwarung membuat ibu pedagang soto tidak tertarik marah berlarik-larik, entah kenapa: takut aku balik marah walau rasanya itu tak mungkin, atau takut aku tak balik lagi besok yang akan mengurangi pemasukan. Kami memang telah cukup akrab dalam hal penjual dan pembeli. Saya rasa itu spontanitas kesalnya pada harga cabai naik. Saya juga ikut kesal, jangan lama-lama naik begini yg membuat kami tidak nyaman makan. Tapi jangan pula merosok terlalu dalam yang membuat petani menjerit.

Lebih-lebih warung kecil memang lebih menarik dalam segi lain, bukan hanya tentang makanannya tapi tentang cara kita bahu membahu, tolong menolong. Penjualan tertolong barangnya laris, saya juga tertolong dengan harga yang terjangkau.

Intinya kita harus sama-sama peka akan situasi. Kalau punya uang belikan secukupnya, usahakan pada mereka yang lebih membutuhkan. Warung kecil lebih membutuhkan dari super market disituasi sekarang, untung-untungan bernilai sedekah.

Meski rasa kurang nyaman setelah teguran tadi, nasi tetap habis kulahab. Rasa lapar tidak bisa di mentahkan begitu saja. Kopi sudah dibuat saat aku selesai makan. Duduk dan membuka buku, saya membaca, dari halam satu kehalaman lain, fokusku benar-benar hilang, hampir tidak ada yang kupahami. Kuletakkan begitu saja.

Tabik.

Komentar

Postingan Populer