Ngopi dulu, ngobrol

foto: saya bersama mbah Cipto, salah satu petani sayur yang umurnya sudah lebih 80 tahun.


"Mat, kamu itu ngapain. Orang ribut-ribut kamu malah ga jelas gitu," kata Sihar pada Amat yang sedang memainkan gawai, sedang mengetik sesuatu.

Amat begitu fokus mengetik di gawainya, terlihat ia ingin menuangkan terlebih dahulu apa yang hendak ia sampaikan dalam tulisan itu sebelum menjawab celetupan Sihar.

Jari-jari yang lunglai mengetik sekarang telah terhenti. "Ribut-ributin apa, Sihar?"

"Gimana sih. Ribut soal kritik presiden itu, yang upload kawan-kawan mahasiswa UI," jelas Sihar.

"Oh," Amat terlihat malas menggubris.

"Isu presiden tak selesai,” celetup sihar lagi, “artinya, turun sebelum waktunya juga lho?" Jelas Sihar lagi sembari ia juga bertanya soal itu.

***

Jagat dunia Twitter ribut, bising sekali, dengan soal-soal yang mereka "rencanakan dan buat sendiri." Itu sama dengan obrolan kelurga sendiri yang seharusnya tidak selayaknya mereka umbar ke publik luas, tapi demi mengejar viral, apa boleh buat.  

Ribut soal politik itu adalah hal biasa, sangking biasanya orang-orang kampung tidak perhatikan lagi soal begitu, tidak penting. Twitter yang ribut tidak jelas itu, maksudnya, jagad twiter Indonesia, memang bagi orang kampung mending cari uang di kebun atau pergi memancing.

Kalau masalah media sosial, mereka, jika saya boleh sebut, lebih suka dengan media seperti Instagram yang kualitas gambarnya cukup bagus, atau Facebook yang sejak lama mewarnai orang-orang desa, dari hp jadul,—belum ada android apalagi smartphone—sudah bisa mereka akses. Twitter tidak lha, ya.

Isu-isu politik, sebenarnya lokal bagi kalangan elit, ditarik-tarik ke nasional, menyeret bapak-bapak yang sedang membajak sawah, ibu-ibu yang sedang jualan sayur, atau pemuda yang lagi main bola di tepian desa.

Keringat yang sudah membasahi baju, sangat lelah, mendengar isu-isu semacam itu di televisi, bukan membuat semangat, melainkan hanya buat lucu-lucuan atau marah-marah.

"Keterlaluan ini pemerintah, harga sembako tiap tahun naik, harga kopi tetap saja murah, bahkan turun," ucap pak Kusai dalam satu obrolan ditengah permainan.

"Haha, masalah gitu tidak usah di soalkan," ucap pak Sanusi, "saya sekak dulu pak Kusai." Pak Sanusi menjalankan benteng.

"Serba mahal, mau makan saja sulit," pak Kusai menjankan pion.

"Saya sekak lho."

Pak Kusai masih dalam keadaan marahnya, fokusnya benar-benar hilang. "Stop dulu Sanusi, entar, besok malam lanjut lagi."

Pak Kusai meninggalkan pos kamling, ia menuju rumah dengan perasaan marahnya. Kaki pak Kusai tetiba menyentuh botol bekas ditengah jalan, bukan memungutnya yang biasa ia lakukan, malah menendangnya sekeras mungkin, "asem, asu."

***

Isu-isu seperti yang di picu oleh BEMKM UI itu adalah isu biasa, biasa sekali. Meski kadang kekuasaan kerap kali menanggapinya dengan sangat marah, sampai melaporkan, atau pemanggilan seperti yang dilakukan rektor UI, tetap saja dalam politik itu soal biasa.

Orang bisa tiap hari dipanggil, itu masalah terima dan tidak terima, masalah terancam dan tidak terancam secara jabatan. Tapi itu alamiah dalam struktur politik yang "pluralis," bisa jadi.

Atau itu isu yang sengaja dibuat oleh kalangan elit yang mereka ributkan sendiri. Atau pula itu benar-benar kritik "mahasiswa," murni, alamiah, tapi di plintir, dimanfaatkan, sedemikian rupa oleh pihak-pihak tertentu.

Sengaja harus saya beri tanda petik pada "mahasiswa" yang kadang-kadang jual nama mahasiswa lain. Saya tidak tahu, bisa jadi, ada gelontoran, atau iming-iming jabatan? Sudah lumrah ya.

Kita sama, saya mahasiswa juga, ini kacamata saya sebagai mahasiswa melihat "mahasiswa." Jangan dipelintir yang tidak-tidak.

Ada pula isu yang mulai berkembang seperti yang di jadikan tema oleh Greenpeace: "Membangun Ulang Indonesia." Jangan bayangkan, seperti bangunan yang sudah berdiri kokoh lalu dihancurkan, dibangung lagi. Tentu tidak begitu. Tapi ini tema yang menarik. Kalau kata orang desa, seperti saya misalnya, "membangun Indonesia, atau ditambah kata 'Ulang', yang menjadi pelengkap, itu soal gampang. Mending sini,—penguasa maksudnya—ke desa, kita ngopi dulu, ngobrol. Atau mau bantu-bantu bajak sawah juga boleh, hehe.”

***

"Kenapa kita harus di hebohkan dengan soal semacam itu? Toh...besok pada diam lagi. Isu-isu di "Jakarta" itu tiba-tiba saja ada dan tiba-tiba juga hilang, tidak tahu ya, apa sebabnya, bisa jadi tergantung pesanan?" jawab Amat.

  

  30 Juni 2021

Komentar

Postingan Populer