Ngopi dulu, ngobrol
"Mat, kamu itu ngapain. Orang ribut-ribut kamu malah ga jelas gitu," kata Sihar pada Amat yang sedang memainkan gawai, sedang mengetik sesuatu.
Amat begitu fokus
mengetik di gawainya, terlihat ia ingin menuangkan terlebih dahulu apa yang
hendak ia sampaikan dalam tulisan itu sebelum menjawab celetupan Sihar.
Jari-jari yang
lunglai mengetik sekarang telah terhenti. "Ribut-ributin apa, Sihar?"
"Gimana sih.
Ribut soal kritik presiden itu, yang upload kawan-kawan mahasiswa UI,"
jelas Sihar.
"Oh," Amat
terlihat malas menggubris.
"Isu presiden
tak selesai,” celetup sihar lagi, “artinya, turun sebelum waktunya juga
lho?" Jelas Sihar lagi sembari ia juga bertanya soal itu.
***
Jagat dunia
Twitter ribut, bising sekali, dengan soal-soal yang mereka "rencanakan dan
buat sendiri." Itu sama dengan obrolan kelurga sendiri yang seharusnya
tidak selayaknya mereka umbar ke publik luas, tapi demi mengejar viral, apa
boleh buat.
Ribut soal politik
itu adalah hal biasa, sangking biasanya orang-orang kampung tidak perhatikan
lagi soal begitu, tidak penting. Twitter yang ribut tidak jelas itu, maksudnya,
jagad twiter Indonesia, memang bagi orang kampung mending cari uang di kebun
atau pergi memancing.
Kalau masalah
media sosial, mereka, jika saya boleh sebut, lebih suka dengan media seperti
Instagram yang kualitas gambarnya cukup bagus, atau Facebook yang sejak lama
mewarnai orang-orang desa, dari hp jadul,—belum ada android apalagi
smartphone—sudah bisa mereka akses. Twitter tidak lha, ya.
Isu-isu politik,
sebenarnya lokal bagi kalangan elit, ditarik-tarik ke nasional, menyeret
bapak-bapak yang sedang membajak sawah, ibu-ibu yang sedang jualan sayur, atau
pemuda yang lagi main bola di tepian desa.
Keringat yang
sudah membasahi baju, sangat lelah, mendengar isu-isu semacam itu di televisi,
bukan membuat semangat, melainkan hanya buat lucu-lucuan atau marah-marah.
"Keterlaluan
ini pemerintah, harga sembako tiap tahun naik, harga kopi tetap saja murah,
bahkan turun," ucap pak Kusai dalam satu obrolan ditengah permainan.
"Haha,
masalah gitu tidak usah di soalkan," ucap pak Sanusi, "saya sekak
dulu pak Kusai." Pak Sanusi menjalankan benteng.
"Serba mahal,
mau makan saja sulit," pak Kusai menjankan pion.
"Saya sekak
lho."
Pak Kusai masih
dalam keadaan marahnya, fokusnya benar-benar hilang. "Stop dulu Sanusi,
entar, besok malam lanjut lagi."
Pak Kusai
meninggalkan pos kamling, ia menuju rumah dengan perasaan marahnya. Kaki pak
Kusai tetiba menyentuh botol bekas ditengah jalan, bukan memungutnya yang biasa
ia lakukan, malah menendangnya sekeras mungkin, "asem, asu."
***
Isu-isu seperti
yang di picu oleh BEMKM UI itu adalah isu biasa, biasa sekali. Meski kadang
kekuasaan kerap kali menanggapinya dengan sangat marah, sampai melaporkan, atau
pemanggilan seperti yang dilakukan rektor UI, tetap saja dalam politik itu soal
biasa.
Orang bisa tiap
hari dipanggil, itu masalah terima dan tidak terima, masalah terancam dan tidak
terancam secara jabatan. Tapi itu alamiah dalam struktur politik yang
"pluralis," bisa jadi.
Atau itu isu yang
sengaja dibuat oleh kalangan elit yang mereka ributkan sendiri. Atau pula itu
benar-benar kritik "mahasiswa," murni, alamiah, tapi di plintir,
dimanfaatkan, sedemikian rupa oleh pihak-pihak tertentu.
Sengaja harus saya
beri tanda petik pada "mahasiswa" yang kadang-kadang jual nama
mahasiswa lain. Saya tidak tahu, bisa jadi, ada gelontoran, atau iming-iming
jabatan? Sudah lumrah ya.
Kita sama, saya
mahasiswa juga, ini kacamata saya sebagai mahasiswa melihat
"mahasiswa." Jangan dipelintir yang tidak-tidak.
Ada pula isu yang
mulai berkembang seperti yang di jadikan tema oleh Greenpeace: "Membangun
Ulang Indonesia." Jangan bayangkan, seperti bangunan yang sudah berdiri
kokoh lalu dihancurkan, dibangung lagi. Tentu tidak begitu. Tapi ini tema yang
menarik. Kalau kata orang desa, seperti saya misalnya, "membangun Indonesia,
atau ditambah kata 'Ulang', yang menjadi pelengkap, itu soal gampang. Mending
sini,—penguasa maksudnya—ke desa, kita ngopi dulu, ngobrol. Atau mau
bantu-bantu bajak sawah juga boleh, hehe.”
***
"Kenapa kita
harus di hebohkan dengan soal semacam itu? Toh...besok pada diam lagi. Isu-isu
di "Jakarta" itu tiba-tiba saja ada dan tiba-tiba juga hilang, tidak
tahu ya, apa sebabnya, bisa jadi tergantung pesanan?" jawab Amat.
30 Juni 2021



Komentar
Posting Komentar