SEDAYU
Sepeda motor yang kukenakan menggelincir
melalui hamparan sawah, ladang jagung, dan sarat akan suasana desa. Orang-orang
kota tercengang, "aku merasa hidup, lubang hidungku semacam
mengendus-endus semacam anjing mencari bangkai—udara begitu enak dihirup, bising
kota tidak terdengar, debur angin begitu enak dirasa pada sekujur tubuh."
Seorang ibu mengibas-ngibaskan
sepotong bambu, diujungnya terikat sepotong kain layak bendera. Mulutnya sambil
bersuara, haa…his...hus..., dengan teriakan lantang sambil mengibas-ngibas.
Pipit-pipit beterbangan. Sialnya, pipit hanya terbang ke sisi lain dari
sebidang sawah, seorang ibu meski tampak lelah dan kesal harus tetap
mengibar-ngibar sampai situasi terkendali. Entah sampai kapan.
Yang jelas saat matahari sudah hilang
dari penglihatan, dan suasana mulai gelap, ia harus pulang. Saat itu pula ia
merasa pipit bukanlah hewan malam, ia juga butuh tidur. Besoknya ia melakukan
hal yang sama, mengusir pipit, berpanas-panasan dengan teriakan yang sama, haa…his...hus....
Sampai sore. Sampai suara hilang. Sampai waktu panen tiba.
***
Saat saya lewat, tepat pada tikungan,
seorang embah-embah mengingat rumput pada karung. Saya lewat sekaligus melirik,
rasanya motor ingin segera berhenti dan membantu mengangkat. Tapi saya tidak
melakukannya. Ini menjadi salah satu momen yang membuat saya marah pada diri
sendiri: kenapa saya tidak memberhentikan motor dan membantu mengangkat
sekarung rumput.
Dalam tangkapan kaca spion seorang
kakek menyeberang jalan. Saya ragu mau putar balik dan membantu mengangkat. Ia
angkat dengan kedua tangannya dan dipanggulkannya pada paha munuju sepeda
diseberang jalan.
Seukuran sedang, karung terisi
rumput. Mungkin tidak terlalu berat bagi pemuda seumur dua dekade atau lebih,
tapi seorang embah-embah terlihat betapa sepenggal rumput yang menyusahkan.
Sekarung sarapan pagi bagi ternak dirumah.
Pada sudut jalan lain, seorang
ibu-ibu memotong rumput ditepi jalan. Ia menggunakan arit memotong rumput
dengan ganas. Tangan kiri mencengkram, tangan kanan memainkan arit, ia tarik
kerah dalam, rumput bagian atas terpisah dari akarnya. Ia kumpulkan dan
dimasukkan pada karung.
Diraut mukanya, ia seorang ibu,
terlihat sangat iklas, tidak ada raut kesal. Saat saya lewat dan menundukkan
kepala ia balas dengan senyum yang sejuk. Saya sangat terhibur dan ikut cair
dalam senyum. Tapi "penderitanya," entah apapun bentuknya, tidak
dapat disembunyikan.
***
Sore-sore itu waktu untuk bersantai:
kumpul bersama keluar atau keluar mencari tempat yang sahdu.
Ditepian rel kereta bekas stasiun,
ramai orang-orang. Sepasang suami istri dan anak-anaknya. Mereka menikmati
debur angin-angin, mengenalkan anak pada alam, walau tidak begitu alam-alam
sekali jika alam dia asumsikan hutan yang luas. Tapi cukup lah untuk memanjakan
mata, dengan pepohon, dan hamparan sawah.
Kedua suami istri mengajari anak-anak
mereka berjalan, terlihat dimuka seorang anak begitu gembira, ia berjalan dari
pegangan ibu menuju bapaknya, begitupun sebaliknya. Sampai lelah. Dan mereka
pulang, menaiki sepeda motor, seorang suami menyetir, dan seorang ibu akan
memegang seorang anak di tengah-tengah antaranya dengan suami. Bocah itu
berdiri, dan sesekali ibunya menghibur dengan menunjukkan berbagai hal yang ia
lihat, "itu kerbau, bangau" kata seorang ibu. Dan hal-hal lain.
Di tepi rel kereta yang ditopang
bantalan semen, para pedagang menjajakan bakso, sate, sosis, dan dagangan lain.
Untuk para anak-anak dan para orang tua. Tidak lupa, angkringan, beberapa
bapak-bapak asik ngobrol sambil ngopi. Membahas berbagai persoalan hidup,
mungkin. Tidak ada yang tahu.
Kereta api yang sesekali lewat,
menggetarkan gendang telinga dan membuat gempa kecil. Tidak ada yang terganggu,
bahkan orang-orang sangat antusias. Seorang bapak dengan bangga mengenalkan
pada anaknya: itu kereta, dengan tampang menghibur sang buah hati.
***
Debur angin mengibas sekujur tubuh.
Hamparan sawah padi mulai menguning. Ladang jagung yang mulai mengeluarkan
tongkol, daunnya hijau tua. Pematang sawah bertingkat, pohon-pohon disisi tepi
pematang, metahari yang hampir tenggelam.
Disebelah barat berbatasan dengan Kulon
Progo, tepat dipisah oleh aliran sungai progo. Disisi utara berbatasan dengan
Sleman. Boleh dibilang salah satu daerah pinggiran dari kabupaten Bantul: Sedayu.
Silakan cek di google maps. Itulah tempat dari sepotong tulisan diatas. Kehidupan
desa tak semanis ocehan para “politisi.”



Komentar
Posting Komentar